Perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang berdampak signifikan pada lingkungan binaan. Konsekuensi dari perubahan iklim saat ini antara lain, kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat dan penurunan keanekaragaman hayati. Data IPCC (2023) menunjukkan bahwa permukaan air laut di dunia mengalami kenaikan sebesar 20 cm setiap tahunnya. Sementara di Indonesia, ada hampir 200 kota/kabupaten pesisir berisiko terdampak kenaikan muka air laut. Fenomena ini menuntut pendekatan arsitektur yang tidak hanya responsif, tetapi juga adaptif, mampu berdinamika dengan perubahan lingkungan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekologis dan sosial.
Arsitektur adaptif muncul sebagai solusi inovatif yang menggabungkan prinsip desain fleksibel, teknologi cerdas, dan material berkelanjutan untuk menciptakan lingkungan binaan yang tanggap iklim. Namun, implementasinya masih terhambat oleh kurangnya kolaborasi multidisiplin, minimnya regulasi pendukung, dan kesenjangan pengetahuan antara konsep teoritis dengan praktik di lapangan. Di sisi lain, kearifan lokal—seperti desain vernakular berbasis ekosistem—sering terabaikan, padahal menyimpan potensi besar untuk diintegrasikan dengan teknologi modern.
Seminar Nasional Arsitektur Pertahanan 2025 “Arsitektur Adaptif Mewujudkan Lingkung Bina Tanggap Iklim” hadir sebagai wadah diskusi untuk menjawab tantangan tersebut. Melalui pendekatan holistik, seminar ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana arsitektur adaptif dapat menjadi dasar dalam merancang bangunan, lingkung bina, kota dan permukiman yang tanggap terhadap perubahan iklim.